Senin, 22 Desember 2008

Our Conversation -marriageable-

Hari minggu, 21-12-08. Perpaduan tanggal yang bagus untuk pertemuan pertama kami setelah seminggu penuh ngga ketemu. Buatku, ini adalah babak bonus (inget ngga klo kamu maen game, en dapet babak tambahan untuk dapetin score lebih tinggi?) dalam cerita sakti dan permata (our middle name). Hari ini secara kebetulan, kami berdua diharuskan bekerja *yup, it's no longer sunday for me* karena -kebetulan lagi- kami sedang mengerjakan project -dikantor dan tempat yang berbeda- dan tanggung jawab ini membuat kami harus rela mengorbankan waktu berdua.

But it's my luck. Jadwal yang belum begitu ketat membebaskanku ketika sms itu dikirim olehnya yang sengaja membelokkan arahnya pulang ke Bogor, dari Sukabumi ke Jakarta (yang lebih mudah ditempuh lewat tol), hanya untuk 4 jam pertemuan kami.
Adalah 4 jam berharga milik kami, untuk ngobrol dan sekedar bercanda, karena bersamanya diri ini merasa bebas berekspresi. Satu hal yang aku selalu inget saat ada disampingnya. He's gonna hold my hand tightly, dan menciumnya. Tidak peduli kami dimana, dan menimbulkan pandangan cemburu perempuan laen yang berjalan dibelakang pasangannya. Harus saya akui, that's the romantic thing yang akan selalu saya dapat dari setiap pertemuan kami, dan dia tidak pernah bosan melakukannya, meskipun perjalanan ini sudah memakan waktu kurang lebih 1604 hari. Dan ini, tangan yang sama yang saya gunakan untuk mengetik kisah kami, yang selalu dia cium setiap kali dia merasa ingin menghibur saya.

Seperti kisah kami di kota Solo waktu itu. Setelah menyelesaikan makan malam -kami sengaja memilih bakso untuk menu makan malam- secara ngga sengaja, pembicaraan kami menuju ke arah teman saya yang akan melangsungkan pernikahan tahun depan, dan berencana menghabiskan masa lajang terakhirnya dengan acara keliling Jogja dengan saya.




Si ewiet kemaren onlen- kata saya mengawali pembicaraan.

Trus, ngobrol apa? - tanya dia masih sedikit tertarik dengan topik kami.

Ngga banyak sih, cuma endingnya bikin aku shock.

Kenapa emang?- dia masih sambil makan bakso yang ukurannya lumayan gede.

Ternyata dia mo merried bulan april taun depan.

Owww....- responnya singkat

Kok gitu doang...- saya agak kesal.

Trus mau komentar apa? - nada dia agak meninggi.


Dia diam, begitu juga saya. Terjadi dead air dalam pembicaraan kami. Selalu akan begini sebenarnya. Semua pembicaraan mengenai pernikahan, pertunangan, dan sebangsanya menjadi topik yang sangat sensitif bagi kami akhir2 ini. Saya diam, dia pun tetap diam. Kami tidak tau, apakah harus meneruskan topik ini ataukah memilih topik lainnya.


Aku pengen jujur nduk - katanya memulai pembicaraan.
Tentang? - tanya saya dingin. Saya masih kesel. Ngga tau jelasnya kenapa dan untuk apa.
Jujur aja, aku selalu ngga ngerti harus berkomentar apa kalo kamu bercerita tentang topik ini. Saya masih diam.
Aku seperti kamu haruskan untuk menjawab, padahal ngga ada yang perlu aku jawab.
Dia meraih tangan saya lagi. Saya tetap diam.
Kamu, aku, kita, adalah yang tau kondisi kita sebenarnya bagaimana.
Jangan kamu pikir aku nggak pengen kita segera menikah. Tentu saja aku menginginkannya sebesar keinginanmu.
Hanya saja, mungkin kita masih harus menunggu sebentar lagi.
Keinginanku adalah, supaya mimpi kita tetap berjalan.
Kalo cuma nikah, mungkin besok kita bisa. Tapi lalu bagaimana dengan mimpi kita?
Jika dengan menunggu sebentar lagi kita bisa melakukan semuanya, kenapa tidak?

He keep saying, and I just cant listening.
Tuhan, kenapa saya demikian egois. Saya tidak memikirkan perasaannya ketika saya mengatakan kepadanya bahwa dia seperti tidak membawa hubungan kami kemanapun. Tuhan, kenapa saya tega mengatakan hal yang demikian menyakitkan pada laki-laki yang saya sayangi dan ingin saya nikahi. Saya ingin menangis saat itu juga. Tapi inget tempat dan sedikit sadar diri. Maka saya beranjak dan mengajak dia balik ke kos-an saya.

Di tengah perjalanan, saya pegang tangannya lebih erat dari pegangannya. Terpekur, saya hanya mampu menatap tanah. Saya minta maaf. Saya sungguh menyesal dengan perkataan saya. Sampai mau tidur pun saya masih kepikiran kata-katanya hingga tanpa sadar air mata saya keluar perlahan membasahi bantal saya. Hingga sampe saya terima sms dari dia yang berbunyi seperti ini.

"aku tau, dengan kita dekat memang banyak hal yang menjadi fokus kita karena masalah jarak sudah tidak ada. Kita jalani semuanya dengan bareng2 seperti saat kita terpisah. I love u"

Lalu saya pun tertidurr....





Rabu, 17 Desember 2008

at my lowest line of ambition...


Udah 3 hari. Terhitung dari hari senin kemaren. Ketika satu macam pertanyaan begitu banyak datang kehadapanku. Saat mulut ini ngga tau lagi gimana menjawabnya. Secara otomatis, diri ini seperti terjerembab turun ke posisi yang paling rendah dalam garis ambisiku.

Apalagi bulan ini (dan beberapa bulan sebelumnya siihh...), sepertinya semua orang berbondong-bondong menutup akhir tahun ini dengan menggelar acara pernikahan. Jangan disebutkan deh, berapa banyak undangan yang nyampe kehadapanku. Baik dalam bentuk fisik maupun lewat friendster atau blogspot atau website (apa sekarang udah musim kek gitu yak?? sengaja mengirit kertas dalam rangka menghemat batang pohon atau emang itu cara yang paling mudah dimana teknologi sudah menjamur layaknya gorengan?)

Sepertinya menikah, memang step terbesar yang pernah dibaut seseorang dalam hidupnya. Aku masih inget, kemaren kesasar di blog seorang forografer -panggilannya pram- yang emang ahli bikin vintage prewedding, wedding fotography. Sesaat hatiku trenyuh. Saat-saat menuju pernikahan memang penting untuk dikenang dan diabadikan. Detik-detik dimana status kita akan berubah, tanggung jawab akan menambah, saat-saat dimana kalimat suci itu diucapkan dan apa yang tadinya self orientation menjadi our orientation.


Coba aku hitung deh undangan yang datang minggu ini : 2 dari teman SMA yang soundingnya udah dari bulan oktober kemaren (Radiq en Ielma -hehehe, bukan radiq nikah ama Ielma, tapi radiq en pasangannya, ama Ielma en Dharma) kemudian satu dari teman dikantor (amri -yang nikah tanggal 20 minggu ini), lalu satu dari teman jaman kuliah (Banov en Erna tgl 14 des minggu lalu, bukannya pulang ke solo demi menghadiri pernikahan mereka, kami -ajustabrata geng- justru merencanakan ke Dufan karena waktu yang terlalu mepet untuk pulang), satu lagi datang dari teman dari pekerjaan sebelumnya (Imoet amit _Novie, yang undangannya belon nongol), lalu satu lagi dari teman GDP (aku sih bukan GDP, kebetulan aja kenal ama mereka, sepaket deh kenalannya) si Iqa diBandung untuk tgl 28 desember 08. Sayangnya tanggal segitu aku dah meluncur dan mungkin ke rumah coz udah rencana mo bikin SIM (Yippe, awal bulan depan motorku dah boleh diambil). Yah itulah, total ada 7 undangan yang sepertinya kesemuanya ngga bisa kuhadiri tepat waktu. Mungkin nanti akan menyempatkan diri nyambangi Radiq en Ielma waktu pulang.

Sedihnya... saat ini aku benar-benar berada dalam level yang kritis menghadapi optimisme pernikahan. Even for my self! Aku seperti berada di lowest level of ambition jika sudah menyebut hal yang berjudul Married. Entah kenapa...

Tadinya, beberapa bulan yang lalu kira2 bulan maret atau april lah, saat dimana kami (aku dan si mas) mulai serius membahas rencana pernikahan. Adalah tahun depan, kami berencana menuju kesana : menikah. Rencana yang baik ini kami niatkan dalam hati, diiringi dengan doa dimana semoga niat ini diamini oleh para malaikat disana, dan dimudahkan jalannya.

Sedikit gambling sih rencana itu. Mengingat saat itu kondisi kami masing-masing masih dalam tahap awal meniti karier. Aku baru aja diterima kerja (dan masih harus berjuang supaya diterima jadi pegawe tetap diakhir tahun ini) lalu masku, baru aja keterima jadi pegawe di PMA yang bergerak di bisnis semen (bukan calon pegawe tetap sih, makanya akhirnya dia mengundurkan diri). Tapi niat kami tulus dan insyaalloh kuat, meskipun baru dari diri kami sendiri berdua, tapi setidaknya kami memberanikan diri membahas masalah ini lebih dalam. Beda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika pertanyaan tentang pernikahan kami jawab dengan jawaban aman : biarkan mengalir seperti air.

Lalu episode empat terjadi lagi, dimana jarak -sekali lagi- merentangkan tangan kami terlalu jauh. Aku pikir aku akan sanggup setelah cinta kami nyatanya teruji dan kami lolos dari babak-babak berikutnya. tapi emosiku masih ambigu dan terlalu fluktuatif. Pada episode ini aku terlalu banyak pertanyaan tentang komitmen. Terlalu banyak sensitif jika pembicaraan kami mengarah pada pernikahan. Seperti selalu merasa salah karena menempatkan dia pada posisi yang tidak bisa dia jawab, padahal aku nyata-nyata mengerti dan tau pasti kondisi kami seperti apa. Yang aku tau dan ingin hanya tentang diriku sendiri *hmmm, aku juga heran kenapa menjadi too much one direction begini* dimana selalu dan selalu -hampir setiap saat- aku ingatkan dirinya tentang inginku, melalui gerbang itu. Aku semakin tidak mengerti diriku sendiri.

Tapi hebatnya. Dia begitu sabar menghadapiku. Mengimbangi semua titik fluktuasiku dan selalu mendampingiku meskipun secara nyata dia tidak berada didepanku. Aku bangga, sekaligus menyesal kenapa masih saja diriku ini kembali ke sosok childish ketika angan ini menyentuh garis mimpi. Kenapa aku masih saja tidak ingin mengerti bahwa asanya sama besarnya denganku. Kenapa aku tak juga paham bahwa dia selalu berusaha mendekat karena dia tidak ingin diriku berhenti bermimpi dengan adanya pernikahan kami kelak. Kenapa aku tidak mau memahami bahwa sampai ke titik yang paling detail dia begitu ingin menjagaku dan keinginannya memilikiku juga sebesar inginku. Tuhan..., kenapa aku menjadi demikian egois?


Lalu, sampailah aku dilevel ini. Menjadi pribadi yang sangat pasrah terhadap keinginan berjudul pernikahan. Aku tidak ingin menyakiti hati lelakiku itu, dengan terus menerus menanyakan perihal yang sama padahal sebenarnya secara sadar aku sudah tau jawabannya. Aku tidak ingin menguji kesabaran lelakiku itu dengan meminta hal yang dia sendiri masih mengusahakannya. Dan yang pasti, aku tidak ingin -dan takut- dia akan kehilangan kesabarannya terhadapku pada saat mimpi kami masih mungkin untuk diwujudkan.

Here I am, at my lowest line of ambition... Karena aku tau, future itu mystery. Nyatanya aku percaya bahwa jodoh itu masih ada diantara kami -buktinya masku diterima kerja di Jakarta sehingga untuk sementara jarak itu tidak lagi ada- setelah episode empat itu sekali lagi berhasil kami lalui. Nyatanya kami masih percaya cinta kami kuat, dan aku membutuhkannya bukan lagi sebagai kekasih tapi juga sahabat, teman, kawan dalam hidupku.

jay saktiwibowo wrote :

"ratna permatasari, ya ratna, panggilannya Na, aku panggil dia sayang, karena memang aku sayang dia. Ngga tau karena apa, senyumnya bikin aku kangen terus, lebih tepatnya ketawanya. Lepas, tanpa tameng, tanpa topeng. Yah, aku begitu mencintai wanita ini... Hmmm... waktu dah hampir pagi, aku belum tidur. Masih kepikiran dia yang mungkin sedang sedih malam ini"

_semoga mimpi ini berujung nyata_

Cheers

Na

Rabu, 03 Desember 2008

nunggu apa lagi??


Akhir-akhir ini semakin banyak pertanyaan seperti itu ditujukan kepadaku.
Semalam, woman's day out. Kami, cewek-cewek nan geulis penunggu kos Amanda (nama ibu kos kami, wkwkwk...maap ya bu...) Perum Griya Kenari mas blok A4 berencana mendatangi rumah teman kami yang beberapa minggu kemaren sudah melangsungkan perhelatan akbar berjudul "Menikah"...

Setelah muter-muter ngga jelas ke perumahan berjudul Permata Cibubur (padahal keknya udah ngga masuk daerah cibubur) akhirnya nyampe juga kami di rumah mba Aulia. Jangan nanya gimana perjuangan kami, atu si May sih tepatnya mengingat mobil Hyundai tongkrongannya lagi kehabisan oli jadi power steeringnya berat banget. Ditambah lagi penghuni jok belakang (gw, Charpri, Mba Filsa) ngga bisa disebut sebagai cewe bertubuh sintal (hallah... membuka aib nihh)...

Singkat kata, perjalanan terselamatkan tanpa menghabiskan banyak waktu lagi, karena dengan cerdasnya Mba Lia ngambil
inisiatif untuk menjemput kami (padahal dia jalan lohhh) di pertigaan menuju ke rumahnya. Dan, singkat kata sampailah kami di rumah mba Lia. Not a biggest one, but not the smallest one also. Cukup lumayan untuk pasangan suami-istri yang baru aja memulai hidup baru. Pilihan mba Lia cukup tepat, karena letak dari perumahan ini memang cukup mudah dicapai tapi tidak berisik. Dengan lingkungan yang homy dan tenang keluarga baru itu tampak serasi.

Tak bisa dipungkiri. Wajah akuarium milikku pasti tidak dapat menyembunyikan aura bahwa aku juga menginginkan yang seperti ini. Who doesn't anyway? Tidak harus persis seperti ini, tapi yah...semacam ini juga boleh.

Lalu, setelah panjang lebar segala pembukaan. Cium pipi kiri kanan, kangen-kangenan, sedikit introgasi keadaan rumah (ada kolam kecil yang dimiliki oleh semua rumah diperumahan ini, bikin iri!), sampe ke kamar tidur (hehehe, tenang aja, cuma ngeliat kok, ngga sampe masuk dan nyobain kasurnya...) sampailah kami ke pembicaraan dimana pertanyaan dahsyat itu ditujukan untukku.

"Nunggu apa lagi Na???" tanya mba Lia. Satu detik pertama, tidak bereaksi. Seakan inderaku menolak ada pertanyaan semacam itu. "Aku tinggal jawab iya mba, sayangnya ngga ada yang mengajukan pertanyaan sebelum jawaban iya itu aku berikan" -ini elakan pertama.
Semua ketawa, tapi hatiku miris. Aku juga bingung, miris untuk apa? toh semua sudah ada yang menentukan, sudah ada yang mengatur, entah... aku juga tidak tahu.

Iri berikutnya, ketika mba Lia ngasih ke kita rekaman pas dia Ijab. "Saya terima nikahnya..bla..bla..bla.." Merinding rasanya seluruh tubuh, serasa akulah yang diiJab hari itu.
That's still a mystery for me...
even my man in the same city right now...
pertanyaan tentang kapan kah kami melangsungkan pernikahan... masih juga misteri... satu bukti lagi, bahwa kami masih belum berani mengambil resiko mengecewakan hati kami masing-masing...

Lalu pertanyaan "nunggu apa lagi?" masih belum dapat kami jawab.
Karena sebenarnya, aku pun tak tahu apa yang aku tunggu...

Good Night...

Cuplikan conversation kami malam ini :
jay_saktiwibowo says:

Atau dgn kt lain ak pgn dan brusaha mwjdkan keingnan,dan harapan kita...

Semoga harapan itu terwujud... Amieenn...