Rabu, 17 Desember 2008

at my lowest line of ambition...


Udah 3 hari. Terhitung dari hari senin kemaren. Ketika satu macam pertanyaan begitu banyak datang kehadapanku. Saat mulut ini ngga tau lagi gimana menjawabnya. Secara otomatis, diri ini seperti terjerembab turun ke posisi yang paling rendah dalam garis ambisiku.

Apalagi bulan ini (dan beberapa bulan sebelumnya siihh...), sepertinya semua orang berbondong-bondong menutup akhir tahun ini dengan menggelar acara pernikahan. Jangan disebutkan deh, berapa banyak undangan yang nyampe kehadapanku. Baik dalam bentuk fisik maupun lewat friendster atau blogspot atau website (apa sekarang udah musim kek gitu yak?? sengaja mengirit kertas dalam rangka menghemat batang pohon atau emang itu cara yang paling mudah dimana teknologi sudah menjamur layaknya gorengan?)

Sepertinya menikah, memang step terbesar yang pernah dibaut seseorang dalam hidupnya. Aku masih inget, kemaren kesasar di blog seorang forografer -panggilannya pram- yang emang ahli bikin vintage prewedding, wedding fotography. Sesaat hatiku trenyuh. Saat-saat menuju pernikahan memang penting untuk dikenang dan diabadikan. Detik-detik dimana status kita akan berubah, tanggung jawab akan menambah, saat-saat dimana kalimat suci itu diucapkan dan apa yang tadinya self orientation menjadi our orientation.


Coba aku hitung deh undangan yang datang minggu ini : 2 dari teman SMA yang soundingnya udah dari bulan oktober kemaren (Radiq en Ielma -hehehe, bukan radiq nikah ama Ielma, tapi radiq en pasangannya, ama Ielma en Dharma) kemudian satu dari teman dikantor (amri -yang nikah tanggal 20 minggu ini), lalu satu dari teman jaman kuliah (Banov en Erna tgl 14 des minggu lalu, bukannya pulang ke solo demi menghadiri pernikahan mereka, kami -ajustabrata geng- justru merencanakan ke Dufan karena waktu yang terlalu mepet untuk pulang), satu lagi datang dari teman dari pekerjaan sebelumnya (Imoet amit _Novie, yang undangannya belon nongol), lalu satu lagi dari teman GDP (aku sih bukan GDP, kebetulan aja kenal ama mereka, sepaket deh kenalannya) si Iqa diBandung untuk tgl 28 desember 08. Sayangnya tanggal segitu aku dah meluncur dan mungkin ke rumah coz udah rencana mo bikin SIM (Yippe, awal bulan depan motorku dah boleh diambil). Yah itulah, total ada 7 undangan yang sepertinya kesemuanya ngga bisa kuhadiri tepat waktu. Mungkin nanti akan menyempatkan diri nyambangi Radiq en Ielma waktu pulang.

Sedihnya... saat ini aku benar-benar berada dalam level yang kritis menghadapi optimisme pernikahan. Even for my self! Aku seperti berada di lowest level of ambition jika sudah menyebut hal yang berjudul Married. Entah kenapa...

Tadinya, beberapa bulan yang lalu kira2 bulan maret atau april lah, saat dimana kami (aku dan si mas) mulai serius membahas rencana pernikahan. Adalah tahun depan, kami berencana menuju kesana : menikah. Rencana yang baik ini kami niatkan dalam hati, diiringi dengan doa dimana semoga niat ini diamini oleh para malaikat disana, dan dimudahkan jalannya.

Sedikit gambling sih rencana itu. Mengingat saat itu kondisi kami masing-masing masih dalam tahap awal meniti karier. Aku baru aja diterima kerja (dan masih harus berjuang supaya diterima jadi pegawe tetap diakhir tahun ini) lalu masku, baru aja keterima jadi pegawe di PMA yang bergerak di bisnis semen (bukan calon pegawe tetap sih, makanya akhirnya dia mengundurkan diri). Tapi niat kami tulus dan insyaalloh kuat, meskipun baru dari diri kami sendiri berdua, tapi setidaknya kami memberanikan diri membahas masalah ini lebih dalam. Beda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika pertanyaan tentang pernikahan kami jawab dengan jawaban aman : biarkan mengalir seperti air.

Lalu episode empat terjadi lagi, dimana jarak -sekali lagi- merentangkan tangan kami terlalu jauh. Aku pikir aku akan sanggup setelah cinta kami nyatanya teruji dan kami lolos dari babak-babak berikutnya. tapi emosiku masih ambigu dan terlalu fluktuatif. Pada episode ini aku terlalu banyak pertanyaan tentang komitmen. Terlalu banyak sensitif jika pembicaraan kami mengarah pada pernikahan. Seperti selalu merasa salah karena menempatkan dia pada posisi yang tidak bisa dia jawab, padahal aku nyata-nyata mengerti dan tau pasti kondisi kami seperti apa. Yang aku tau dan ingin hanya tentang diriku sendiri *hmmm, aku juga heran kenapa menjadi too much one direction begini* dimana selalu dan selalu -hampir setiap saat- aku ingatkan dirinya tentang inginku, melalui gerbang itu. Aku semakin tidak mengerti diriku sendiri.

Tapi hebatnya. Dia begitu sabar menghadapiku. Mengimbangi semua titik fluktuasiku dan selalu mendampingiku meskipun secara nyata dia tidak berada didepanku. Aku bangga, sekaligus menyesal kenapa masih saja diriku ini kembali ke sosok childish ketika angan ini menyentuh garis mimpi. Kenapa aku masih saja tidak ingin mengerti bahwa asanya sama besarnya denganku. Kenapa aku tak juga paham bahwa dia selalu berusaha mendekat karena dia tidak ingin diriku berhenti bermimpi dengan adanya pernikahan kami kelak. Kenapa aku tidak mau memahami bahwa sampai ke titik yang paling detail dia begitu ingin menjagaku dan keinginannya memilikiku juga sebesar inginku. Tuhan..., kenapa aku menjadi demikian egois?


Lalu, sampailah aku dilevel ini. Menjadi pribadi yang sangat pasrah terhadap keinginan berjudul pernikahan. Aku tidak ingin menyakiti hati lelakiku itu, dengan terus menerus menanyakan perihal yang sama padahal sebenarnya secara sadar aku sudah tau jawabannya. Aku tidak ingin menguji kesabaran lelakiku itu dengan meminta hal yang dia sendiri masih mengusahakannya. Dan yang pasti, aku tidak ingin -dan takut- dia akan kehilangan kesabarannya terhadapku pada saat mimpi kami masih mungkin untuk diwujudkan.

Here I am, at my lowest line of ambition... Karena aku tau, future itu mystery. Nyatanya aku percaya bahwa jodoh itu masih ada diantara kami -buktinya masku diterima kerja di Jakarta sehingga untuk sementara jarak itu tidak lagi ada- setelah episode empat itu sekali lagi berhasil kami lalui. Nyatanya kami masih percaya cinta kami kuat, dan aku membutuhkannya bukan lagi sebagai kekasih tapi juga sahabat, teman, kawan dalam hidupku.

jay saktiwibowo wrote :

"ratna permatasari, ya ratna, panggilannya Na, aku panggil dia sayang, karena memang aku sayang dia. Ngga tau karena apa, senyumnya bikin aku kangen terus, lebih tepatnya ketawanya. Lepas, tanpa tameng, tanpa topeng. Yah, aku begitu mencintai wanita ini... Hmmm... waktu dah hampir pagi, aku belum tidur. Masih kepikiran dia yang mungkin sedang sedih malam ini"

_semoga mimpi ini berujung nyata_

Cheers

Na

1 komentar:

Ajusta Brata Indonesia mengatakan...

“ Ikhlas marang apa sing wes kelakon, trimah apa kang dilakoni, pasrah marang apa kang bakal ana “



mbak sakwise aku moco2 blog mu aku dadi trenyuh,beneran serius aku mbak!ternyata perjuangane sampeyan karo masku akeh rintangane,tapi aku jujur bangga banget karo kalian mbak amarga iso ngliwati alangan selama iki,iso go pelajaran kanggo aku mbak kisahe kalian ...aku mung iso dongakne mugo2 tulisane sampeyan lan pengharapane sampeyan karo mas gem ndang iso terwujud amin.......jarene wong jowo wejangan nang duwur kuwi mau jero banget artine...aku dewe kudu sih akeh banget blajar