Jumat, 20 Februari 2009

kemungkinan lain


Akhir-akhir ini, si mas suka sekali berlaku agak tidak biasa. Mungkin ini adalah bentuk romantisme menurut dia.
Seperti tadi malam. Tiba2 dia ngajak ketemuan di awal minggu, sesuatu yang ngga biasa.
Saya, yang ngga pengen menyia-nyiakan waktu yang saya punya dengan tenggelam pada rutinitas pekerjaan -yang ngga bakalan abis meskipun saya berikan semua waktu yang saya punya- mengiyakan ajakan dia untuk sekedar ketemu barang sejam sekalian dia ngambil uang di ATM deket kost.
Sebenarnya, semalam adalah pertemuan biasa sih. Ngga ada yang istimewa (maksud saya, lain dari yang lain) meskipun bagi saya yang sudah menghabiskan waktu 4,5 tahun bersamanya dalam rentang jarak yang lumayan, selalu beranggapan bahwa setiap pertemuan kami adalah sesuatu yag istimewa.
Yang membuat berbeda adalah topik yang dia ingin ceritakan malam itu.
Ada dua hal :
1. Bahwa mulai hari selasa sampai kamis, mungkin dia akan tugas ke Pelabuhan Ratu dan kami ngga mungkin ketemuan di tengah minggu.
Ini sebenarnya sih dia lagi jaga-jaga, karena penyakit norak saya suka kumat ditengah2 minggu dan pasti ngambek berat kalo dia ngga bisa (duh, kolokan banget ya saya?)
Tapi dia menjanjikan bahwa dia akan balik Bogor (iya..iya cileungsi tepatnyaa...^.*) sebelum kami berangkat ke Solo akhir minggu ini dalam rangka acara MUbes Ajusta Brata, keluarga kami.

2. Hal kedua ini yang membuat saya deg-degan karena sebetulnya minggu ini adalah minggu yang menentukan akan bagaimanakah rencana kedepan yang kami rencanakan.
Jujur saja, saya sebenarnya agak gemetaran kalo mikir bahwa minggu ini adalah minggu penentuan dimanakan si mas akan ditempatkan berikutnya. Resiko pacaran -dan menikah mungkin- dengan orang sipil adalah bahwa pekerjaan dan profesi mereka yang ngga pernah state di satu tempat dalam waktu yang lama.

Padahal si mas sudah diterima di BUMN yang bergerak di bidang manufaktur, meskipun ngga jauh juga dengan profesi sipilnya. Tapi hal itu engga bikin hati saya lebih lega karena kemungkinan dipindah tempat kerja -dan hukumnya fardhu ain- adalah masih ada.
Saya cuma bisa pasrah dan bersiap-siap menerima kenyataan apabila ternyata akan ada babak berikutnya dimana cinta kami sekali lagi akan dipertanyakan oleh rentangan jarak.
Tapi yang membuat saya sedikit ternganga malam itu adalah karena jarak yang dia maksud kali ini bukan lagi tentang berapa jauh jarak antara Jakarta-Surabay yang merupakan jarak terjauh yang pernah memisahkan kami.
Mungkin tidak akan terpikir untuk setiap setidaknya sebulan sekali untuk ketemuan ama mas di Solo seperti dulu lagi, hanya untuk ketemuan selama beberapa jam, berbincang, bercanda dan menghabiskan waktu bersama. Mungkin kali ini, hal itu tidak akan terpikirkan.
Bukan juga bentangan antar pulau yang masih terpikir karena masih di belahan bumi negeri bernama Indonesia. Tapi ini lain.

"Bosku bilang, salah satu dari kami akan dikirim ke Aljazair" katanya. Deg... jantung saya berdetak lebih cepat.

Ini adalah kemungkinan yang sama sekali diluar perkiraan saya. Sebenarnya, dalam rangka menyiapkan diri dan mengatasi kemungkinan berpisahnya kami kembali, saya sampe hunting kemungkinan pekerjaan lain. Jaga-jaga saja, siapa tau dia ternyata ditempatkan di Surabaya misalnya.
Saya pun men-apply pekerjaan yang sekiranya memungkinkan saya dapat berpindah tempat dengan alasan mengikuti jejak -calon- suami saya.
Tapi Aljazair, adalah kemungkinan yang jauh dari jangkauan saya. Ngga kepikir gimana caranya supaya kami bisa tetap bersama.
Terlebih jika memikirkan kemungkinan mama saya yang pengen tinggal dengan saya jika saya menikah kelak.
Membawa mama sampe ke Aljazair? saya pikir itu bukan opsi yang bisa saya pilih.

Tapi urusan menikah memang adalah menyangkut sesuatu yang kadang memang diluar kuasa kita untuk bisa mengaturnya.
Mungkin juga Tuhan sedang menguji kepasrahan saya serta niat kami menikah...

Tidak ada komentar: