Rabu, 30 September 2009


Hari itu, minggu 12 Oktober. Secara mendadak, sms datang dari lelakiku. Huh, tumben banget jam 5.30 pagi begini dia sms, suatu hal yang langka. Apalagi semalem kami pulang baru ke kos masing-masing jam 22.30 malem setelah muter-muter gag karuan di Cilandak town square, dan jam segini, dia uda sms-dengan kesadaran penuh dan nyawa yang lengkap- ngajak jalan pula! Whutt…

My man : Uda bangun belum hun?, kita ke monas yuk, rame gag ya?

Hah… ada yang aneh niy ama masku. Bener-bener gag biasanya nih. Tapi tetep aku bilang begini :

Na :Uda siy (ini kalimat jelas bohong, nyawa gw lainnya masih berkeliaran entah dimana), ke monas? Boleh… tapi na mandi dulu ya? (untungnya, roh yang tersisa di tubuh gw adalah roh yang cinta kebersihan, coba kalo bukan yang ini, udah pasti iya doang, langsung pergi tanpa mandi, yaiksss!!)

Dan finally, setelah adegan mandi potong bebek angsa, angsa dikuali, gw siap nemuin cowo gw yang uda nunggu di dekat pom Tebet. Muncullah adegan konyol berikutnya :

My man : Kalo mau ke munas, dari tebet gini naeknya apa ya?

Na : Kalo dari sini sih, yang na apal cuma dua macem bis , 45 ke arah blok M dan 46 ke arah semanggi. Hehhee..(dasar cewe shopping addict, ditanyain jalan jurusan mana, yang dijawab malah cuman arah ke mana doang)

My man : Kalo 46, lewat komdak gag?

Na : keknya sih lewat.

My man : Tapi kalo dari situ, ntar naek apa yang ke munas ya?

Hallah,… nih orang, niatnya oke, tapi jalan menuju ke sananya gag ngerti. Ya sami mawon (podo wae-sama aja-red.) lah…

Akhirnya, dengan sedikit gambling, tetep aja kami menuju komdak dan nanya sekenanya disana.

Dan, setelah sempet muter hampir separuh jakarta *lebay mode on*, nyampe juga kami di parkir timur Munas. Huh, kenapa jadi berasa jaoh gini ya, perasaan kalo naek buswei, jarak Uki-Munas gag jauh2 amat.

Eniwei… jadilah kami pagi-menjelang agak siang (soalnya udah jam 9.10)- itu jalan-jalan muter di taman deket2 munas. Jangan nanya apakah kami naek ke atas atow gag. Pagi itu Munas panas banged… ngebayangin harus jalan menuju sekitar monumennya aja males bangeeed…

Waktu enak-enaknya duduk dibawah pohon, ada keluarga muda. Si anak masih berumur sekitar 1,5 thn. Lagi trial jalan- secara jalannya masing nungging2 gag jelas gitu- sementara si bapak ngegoda didepan si anak, dan mamanya nunggin dibelakang anaknya yang jalan dengan pantat yang bergerak tak beraturan. Such a happy family…

Gw pengen punya yang kayak gitu…

Tiba-tiba tangan gw dipegang ama mas, keknya dia ngerti apa yang ada dipikiran gw saat itu…

Dan perjalanan berlanjut. Sebelum nyampe ke taman yang kami tuju, sempat kami ngeliat ada pasangan, bapak-ibu (karena dari mukanya udah ga bisa dibilang muda lagi), si ibu duduk selonjoran sambil ngelus2 kepala si bapak, sementara si bapak, asik2 aja tiduran di jalan.

Kata si mas. : Mereka lagi kawin lari kali ya?”

-Hayyah… gubrak!!! Si mas ni, aye2 wae…-

Jam uda menunjukkan angka 11 lebih ga tau berapa, si mas uda ngajak pulang, soalnya kita berdua belum sarapan.

Cerita kami pulang, sama ribetnya dengan ketika kami berangkat menuju kesini, ditambah lagi, teriakan lolongan perut yang minta segera diisi.

Mas : Maem dimana ya nduk?

Na : tadi siy liat dunkin di daerah mana gitu, waktu kita mw jalan kesini tadi lohh…

Mas : Apa mw maem disana?

Na : Ogah ah, susah rutenya, nggak mudeng. Maem disini po?

Mas : Males ah, Cuma ada kerak telor, ama kupat lontong yang gag jelas gitu rasanya

Na : Trus, ni kita kudu menentukan arah dan tujuan…

Mas : pilihannya, blok m atau semanggi aja yah?

Na : Ya udah, nek buswei aja ya?

Akhirnya, keputusan dari rapat pleno singkat itu adalah : Kami mw makan di Semanggi. Dan naek buswei menuju kesana, turun di halte Benhil, trus nyebrang dan melihat kemungkinan resto mana yang bisa kami jarah.

Awalnya kan kami masuk ke munas dari parkir timur, dan keluar dari pintu parkir utara. Halah, ternyata jauh juga ya perjalanan kami, pantesan aja capek banged.

Dalam perjalanan menuju ke halte buswei terdekat-lupa nama haltenya-, si mas bergaya bak cacing kepanasan, dan aku menyingkir, sengaja berjalan berjauhan supaya gag ikut2an dikira gila, sampe lah kami di depan halte busweinya.

Setelah transaksi kartu selese, aku cepet2 masuk, en antri coz keknya bentar lagi busweinya datang. Dan beneran, beberapa detik kemudian, buswei datang, segeralah aku melangkah masuk cepet2, dan setelah kutengok, walah… cowokku ketinggalan…

Sukses karena malu, aku melangkah keluar lagi cepet2 sebelum pintu ditutup.

Na : Maap2, na kirain kamu dah dibelakang na…

Mas: ini masuk ke dalem haltenya aja belum nduk?

Na : Iya deh, maap-maap

Perjalanan menuju ke semanggi terbilang lancar, meskipun keknya kami tadi salah milih jurusan busweinya, terbukti kami lagi-lagi melewati rute yang sama setelah ganti buswei 2 kali, buswei yang ketiga sepertinya adalah pilihan yang jurusan bener.

Sampailah kami di depan Plasa semanggi, jam 11.30.

Masih agak lenggang banget suasananya. Akhirnya, pilihan resto jatuh ke Chicken Story-untung kemaren sempat baca buku Kencan Jakarta”tempat makan dibawah 50ribu”- jadilah gw dengan gagah berani merekomendasikan tempat itu ke si mas…

Dan ternyata, nggak sia-sia. Enak juga masakannya. Sayangnya tempatnya kurang cozy, masih kalah ama Solaria, dan fasilitasnya kurang komplit, karena waktu gw kesana hand dryernya lagi rusak.

Udah hampir jam 12 siang.

Si mas ngajak pulang ke kosnya reni.

Kami naek 46-bus impor dari Jepang, enak banget naek bus ini, salah satu bis favourite di Jakarta, laennya buswei tentu saja- menuju halte Lia.

Dalam perjalanan yang untungnya hari itu bisnya agak sepi, gw kebagian pintu. FYI, bis ini jumlah kursinya dikit banged. Tapi efeknya adalah masih banyak space di tengah2, sehingga kalo misalnya berdiri pun gag masalah, coz spacenya luas banged, anak kecil aja bisa maen bola disitu *lebay mode on*.

Waktu itu bisnya baru saja melaju. Naeklah seorang bapak tua, bawa tas punggung, pake jeans, dan kaos lengan panjang warna merah. Termasuk necis untuk ukuran bapak setua dia. Dengan gerakan perlahan, dia membuka tas punggungnya, dan mengeluarkan sebuah benda, bentuknya kek kaleng gitu yang diisi ama biji2an. Barulah aku ngeh gitu kalo ni bapak tua profesinya adalah pengamen jalanan.

Aku sengaja menajamkan pendengaranku. Penasaran juga, kira2 kualitas suara untuk orang setua dia, akan seperti apa. Belum lagi kalo liat dari senjata perangnya. Pasti suara adalah kunci utama berhasilnya pertunjukan diatas roda berjalan bapak tua ini.

Akhirnya, kecrekan pertama…kecrekan kedua kecrekan ketiga… trus aja dia menggoyangkan kalengnya dan bunyi yang kutangkap adalah hanya suara kecrekan dari kaleng yang beradu dengan biji2 didalamnya.

Penasaran, aku sengaja mengalihkan pandanganku lebih seksama. Si bapak tua terus saja memainkan alat musiknya.

Dan yang aku dapati adalah, kenyataan bahwa memang si bapak tua itu sudah tidak dapat bernyanyi, atau bahkan mungkin saja dia sudah tidak mampu bersuara. Dan dia menyanyi dengan ekspresinya. Menajamkan lekuk wajahnya kala suara kecrekan meninggi, menandakan mungkin lagu yang dia bawakan menuju refrain, membuka mulut tapi tidak dapat mengeluarkan suara, sesekali menyipitkan matanya seakan-akan menghayati lagu yang dia bawakan.

Kontan saja, kehadiran si bapak menimbulkan komentar dari beberapa penumpang. Ada yang tertawa kecil, dan itu tidak dapat disalahkan, karena jujur, ekspresi si bapak tua, sempat menggelitik di permukaan, dan akan membuat kita menangis ketika kita menyadari keterbatasan yang dia miliki, berbanding terbalik dengan keadaan yang harus dia hadapi.

Si mas bilang : kalo didesaku, orang setua dia masih bisa nyangkul disawah.

Dan aku tidak berkomentar, hanya berpikir bahwa, mungkin disinilah dulu pilihan itu dia tetapkan kala usia belum setua ini. Dan saat ini, bahkan mungkin dia sudah tidak punya kampung halaman, atau yang lebih tragis, dia tidak punya uang untuk menuju kesana. Untuk orang setua dia, aku yakin, impiannya akan sama dengan orang tua lainnya, menikmati hidup dikala senja, ditemani keluarga yang membahagiakan, dan suasana yang menentramkan. Siapa yang tidak menginginkan?

Akhirnya lagu yang dia bawakan, rampung juga. Sekali lagi, dia menyapa orang dan berterima kasih atas rupiah yang dia terima dalam kantong besarnya( swear, kantong uangnya gede banged, beda dengan pengamen lainnya yang biasanya cuma pake kantong permen) dengan ekspresi yang dingin, bukan tertawa hangat, dan bukan anggukan. Dia berlalu begitu saja, seakan beberapa menit lalu si bapak tua itu tidak pernah disana, menghentakkan kaleng biji2nya dan menyanyi dengan ekspresinya.

And the question spread to my head,

Is that a life he wanted? Atau pertanyaan berikutnya, apakah dulu ketika dia muda, dia merencanakan untuk menghabiskan masa tuanya dengan naik turun bisa dan menghentakkan kaleng2 seperti yang baru saja dia pertontonkan?

Entahlah…

Moral of the story hari ini :

-Kalo mau ke mana2, lebih baik ngerti jalurnya : Inget cerita gw tentang berjalan separuh Jakarta, dan ganti2 buswei sampe 3 kali, muter2 ditempat yang sama, menilik kalimat reni : satu belokan sangat besar artinya di Jakarta, so if u miss that turn, siap2 aja muter2 gaga keruan.

-Rencanakan masa depan dengan wise. Lupain aja logo gag jelas yang bunyinya : biarkan semuanya mengalir seperti air. Tahukah kamu, bahwa saat ini, bahkan air yang mengalir aja, diatur kemana arah alirannnya.

Tidak ada komentar: